Aug 1, 2011

Selir

"Kisahkan padaku tentang istana".

"Apa kau mau aku mendongeng?" tanyaku.

Anak itu menatapku dengan anak matanya yang hitam pekat. Menakutkan, seperti aku bakal terhisap masuk ke dalamnya. Petanda dia sedang merasa tidak senang, dan dia paling tak senang kalau merasa dipermainkan.

Aku menghela nafas panjang. Keluar bunyi seperti dua besi karatan bergesek dari batasan bibir atas dan bawahku.

"Cerita yang mana pula kali ini?"

Dia mendongak dengan tersenyum ke langit yang warna birunya tersulam abu-abu perak dan oranye aprikot, tanda sore yang makin menjelang, dan mungkin hujan. Kain sarung dengan motif ganggang patah yang lemas menggantung diantara kedua lututnya menari di antara jemarinya yang mungil. Ekspresinya bahagia seperti seorang kolektor buku yang terkurung sendirian di dalam perpustakaan, dan dia dikelilingi milyaran buku-buku cerita di dalam benaknya sendiri.

Aku menunggu dengan sabar. Dengan anak ini tidak ada kata buru-buru. Kenangan-kenangan itu juga tidak tergesa-gesa ingin aku mengulangnya. Bukannya karena pahit, justru keindahannyalah yang menyesakkan.

* * *

"Akan aku bawa kau pergi dari sini".

Cahaya kuning pucat matahari yang masuk lewat jendela terbuka meminjamkan hangatnya buat aku dan dia. Aku yang duduk di hujung ranjang dengan tangan terlipat, memeluk dadaku yang telanjang, mencoba untuk tenang. Perbahasan ini bukanlah untuk yang pertama kalinya.

"Badanku mungkin lepas, tapi kenyataannya jiwaku di sini, untuk mengabdi," balasku.

"Cobalah kau mengerti, kita sudah sampai di sini berjuang. Karena apa?"

"Kenapa tidak kau saja yang coba mengerti?" Suaraku parau menahan lengkingan emosi.

Aku mengenalnya baru-baru saja, tetapi cukup kenal untuk tahu kalau dia tak bakal terusik dengan nada bicaraku yang tak sopan. Edukasi yang dia terima memintanya untuk memperlakukan aku sederajat dengannya, tetapi juga mengajarnya untuk memaklumi perbedaan intelek di antara aku dan dia.

Dia meningalkan meja dengan tumpukan kertas dan buku menggunung, menghampiriku dari belakang dan merangkul pundakku. Warna putih kulit tangannya seperti bercahaya, jernih dibandingkan kulitku yang legam. Nafas lembutnya menggelitik leherku, menghantarkan sejuta sensasi ke sekujur tubuh. Rambut dengan warna jerami padi, dibiarkannya tergurai melintasi dadaku, seperti muntahan cairan emas menuruni bukit-bukit lumpur.

Aku menerima bibir pucatnya, melimpahkan merahku di kulitnya yang tanpa warna. Tanpa sadar air mata dia dan aku menyatu di pipiku. Kasur mendengus malas menerima beban tubuh kami yang merebah.

* * *

Gerimis dengan gemulai menyampaikan pamit. Tetes-tetes air langit turun santai menimpa rambut hitam aku dan Dani. Hujung ombak sampai di bangku bambu kami, menolak kaki-kaki kami yang kecil, seperti menyuruh lekas-lekaslah pulang.

Pantai ini sahabatku, dan selayaknya sahabat, kusimpan cerita-ceritaku disini. Selayaknya sahabat, aku padanya kangen sekali. Selayaknya sahabat, hatiku berat untuk berpisah lagi.

Tangan anak itu yang dalam genggamanku terasa hangat dan lembap. Jari-jemarinya menggeliat resah, mengingatkan aku akan keberadaannya. Mengingatkan aku kalau aku masih punya yang lain untuk menemaniku.

Dani tersenyum manis ke arahku, dan aku membalasnya. Mungkin tidak semanis polosnya senyuman seorang anak kecil, tapi senyumku ini pernah membuat orang-orang menggilakannya.

* * *

Bahuku berat sekali rasanya dengan adanya tangan besar laki-laki itu menumpang singgah. Punggungku pegal menahan duduk tegak di kursi kayu jati berbalutkan baldu merah. Paru-paruku menahan ketatnya korset hitam yang menutupi kelancangan kebayaku.

Tapi senyumku tetap aku pertahankan. Terpaksa aku pertahankan di hadapan lensa kamera dengan blitz-blitz yang menyilaukan mata.

"Senyumlah. Tetap tersenyumlah. Cuma tinggal sebentar lagi selesai."

Pernikahan adalah kekonyolan. Semua formalitas sandiwara buat menutupi sebuah kekacauan. Memaksa aku untuk tersenyum di bawah topeng menor bedak, gincu dan emosi semu. Untungnya ini bukan acara resepsi, cuma pemotretan buat dipajang di ruangan bertamu, buat membuktikan kalau aku adalah miliknya.

Tidak bakal ada yang namanya pernikahan buatku.

Tapi tetap saja aku jadi yang dia punya.

Aku dan anak laki-lakiku satu-satunya.

* * *